Demi anak, tak akan ada ibu yang menyerah...

Hidup tak selamanya mudah,
tapi hidup juga tak perlu dibikin sulit...

Setahun sudah Fa, lelaki kecilku yang istimewa memakai alat bantu dengar... dan ternyata hasil evaluasi terakhir, alat tersebut tidak terlalu menolong.
meskipun sdh ikut latihan tiap Rabu seminggu sekali, toh dia belum 'pandai' mendengar... apalagi berbicara... ooohh, ya Allah memang maha besar...
apa yang kita rencanakan belum tentu jadi kenyataan...

saat dulu beli alat bantu dengar untuk Fa, aku pikir itu sudah mahal, 27 juta... tapi toh, alhamdulillah kebeli juga. Beberapa teman yang baik hati (para sejawat) 'urunan' ...mungkin tahu kalau dokternya tentara itu tidak banyak dhuwitnya... :)
Setelah sekian waktu tidak ada kemajuan, sempat juga disarankan oleh staf konsultan alat bantu dengar untuk beli FMnya. alat yang digunakan agar tidak bising, sebab alat bantu dengar meng-amplifi semua suara. Harganya? 32 juta... aduh... aku pikir kok mahal amat, ya...

tapi, ketika kemarin hadir dalam undangan Indonesia Mendengar... Subhanallah, begitu banyak anak2 seumuran lelaki kecilku yang sudah mulai cerewet... Senengnya lihat mereka!! Apalagi para orangtuanya, pasti! Ternyata mereka memakai Choclea Implant... Aduh!!! Itu kan alat yang dulu sempat ditawari harganya 400 juta!!! kapan ngumpul dhuwitnya???

Itu lah kalau kita tidak pernah tahu, betapa harusnya kita selalu dan selalu bersyukur. Tapi mungkin aku telah terlalu lama bersombong diri... (ampuni aku ya Allah...). Meskipun aku yakin Allah memberikan Lelaki Kecil Istimewaku, bukan untuk menghukumku... Sebab tidak mungkin anak lahir hanya untuk menghukum ibunya..

Fa kecil lahir karena memang dia istimewa dan aku adalah ibu yang istimewa...
Aku mencintainya dengan segala keistimewaannya...

Tunggu sebentar ya, Nak...
Ibun akan ngumpulin dhuwit, dan kita bisa beli implant yang kau butuhkan itu...
Semoga usaha ini ada hasilnya..
Dan engkau bisa segera mendengar angin yang sepoi2 meniup daun, bukan hanya merasakannya, kau bisa mendengar suara hujan, bukan hanya melihatnya, engkau bisa mendengar bisikan cintaku, bukan hanya merabanya...

I love You, Fa!
and I will be with you, forever...!

Semoga Aku Bisa Sepertimu...

Suatu hari, saya berkunjung ke klinik gigi. Lakesgilut, namanya... suatu RS gigi ..Lembaga Kesehatan Gigi dan Mulut. Saya sdh biasa dirawat oleh sejawat dokter gigi A, teman sekaligus senior yang baik hati dan telaten.
Tapi hari itu rupanya saya datang kesiangan. Telah mengantri beberapa orang di depan ruangan beliau. Sehingga rasanya tidak sopan kalau saya langsung masuk minta langsung dirawat. (saya kalau dibegitukan orang juga sebel rasanya...). setelah saya masukkan kartu berobat saya, saya duduk manis menunggu dipanggil. saya kan memang harus ngantri...
Ketika pasien beliau keluar, saya langsung dipanggil. Tapi bukan mau 'digarap', melainkan beliau memberitahu bhw antrean pasien sdh cukup banyak untuk hari itu. Shg mungkin sdh terlalu lelah bila harus mengerjakan gigi saya juga. Drg. A tsb kemudian menawarkan sejawat dokter gigi lainnya untuk menggantikannya.
Saya tidak menolak. Saya pikir, pasti dokter tidak akan menjerumuskan pasiennya. Apalagi ini sesama sejawat. Pasti dokter yg dirujuknya punya kemampuan minimal sama dengan dirinya. Saya setuju dengan tawaran drg. A. Kemudian, saya dikenalkannya dengan drg. X. Drg. X juga bertanya, apakah saya mau dirawat beliau. Saya bilang, kenapa tidak? Toh makin cepat, saya akan makin cepat kembali ke kantor? Demikian pikir saya...
Sesaat setelah saya duduk di kursi periksa, drg. X tidak langs bekerja, meskipun kartu berobat saya telah dibacanya.
Beliau bertanya, ... dr. Srimpi asalnya dari Kutoarjo? (desa kelahiran saya). Betul, dok. Jawab saya.
Beliau bertanya lagi... dr. Srimpi putrinya bapak S? (dia sebut nama ayah saya). Betul, dok. Jawab saya lagi.
Bapak S berasal dari desa Butuh? ... Betul, dok... Kok tahu sih, dok, tanya saya. Tapi beliau sama sekali gak jawab. Malah nanya lagi ttg silsilah saya...
Suaminya, TNI AU ya? Betul, dok... (saya mulai heran...)... Suaminya, penerbang? Iya, dok... (duuhhh, ini orang apa2an sih...?).
Wahhh, dok... kok lengkap banget data tentang saya? Padahal rasanya baru kali ini saya dirawat drg. X? tanya saya dengan amat sangat heran...

Oohhh, begini, katanya...
saya diberitahu, bahwa putri bapak S adalah seorang dokter TNI AU. Suaminya juga TNI AU. Saya berusaha mencari2 sampai suatu hari saya berkesempatan ngobrol dg suami dr. Srimpi.
Akhirnya, saya simpulkan dr. Srimpi memang putri bapak S dari desa B.
Saya berusaha tahu saja, tapi memang kita belum pernah ada kesempatan ngobrol...

Kenapa drg. X sampai begitu rupa berusaha mencari tahu ttg saya? tanya saya...
Drg. X lalu bercerita...
Bapak S, ayah dr. Srimpi adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup saya...
Sejak saya lahir, beliau setiap bulan memberi bantuan pada ibu saya. Terrrruuusss...hingga ayah dr. Srimpi meninggal.
Ayah saya almarhum adalah sahabat bapak S, ayah dr. Srimpi itu...
Jadi, kalau tidak dibantu ayah dr. Srimpi pasti ceritanya lain... Sayangnya selama di Kutoarjo kita tidak pernah ketemu. Saya ya baru tahu dr. Srimpi setelah saya dinas di sini...
Terima kasih ya, dok... Saya dulu belum sempat berterimakasih pada bapak S....

Perlahan-lahan air mata menetes dari mataku...
Sambil berdoa dalam hati, mudah2an semua yang telah dilakukan Ayahku merupakan amal jariyah, amal yang tak kunjung putus baginya... Amin.

Saya jadi punya saudara baru...
Sesuatu yang mungkin tak akan pernah saya miliki (pengalaman hidup dan pengalaman batin), jika saya tidak dirujuk ke drg. X....

Hidup memang 'wales winales', saling berbalas. Kita tidak pernah tahu kapan itu terjadi. Mungkin dalam waktu segera. Mungkin dalam waktu yang panjang yang hanya bisa dirasakan anak cucu...

Berbahagialah orang yang selalu berbagi, karenaNya...
Ya Allah, ampunilah dosa orangtuaku, terimalah amalannya, berikalah tempat terbaik di sisiMu, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil....

Ayah... Semoga aku bisa sepertimu...

Stigma "Gila" Untuk Psikiater
Suara Pembaruan Minggu, 7 januari 2010


“Cepat pulang yah!. Nanti kalau kelamaan cuti, kita2 kalau Gila gak ada yang ngobatin”. Itulah kata bernada canda yang sering diungkapkan teman sejawat saya sesama dokter ketika saya mengatakan ingin cuti beberapa hari dari pekerjaan di rumah sakit.
Stigma Gila begitu melekat pada diri seorang psikiater walaupun yang mengatakannya adalah sejawat dokter sendiri yang mempunyai pendidikan yang sangat cukup. Di lain kesempatan ketika berdiskusi dengan teman-teman sejawat di waktu makan, saya seringkali mendengar cerita teman sejawat saya kalau dia tidak bisa mengkonsultasikan pasiennya kepada saya karena alasan takut pasien menolak dan malahan marah kepada sejawat saya tersebut. Alasan pasien lagi-lagi ”Memang saya Gila?” Kata-kata Gila yang disematkan kepada profesi saya bukan hanya saya dapatkan di ruang praktek dan rumah sakit tempat saya bekerja, tetapi juga di sarana pendidikan dokter tempat saya mendidik mahasiswa. Psikiater, pasti dan hanya berurusan dengan orang Gila adalah konsep di beberapa kepala rekan-rekan dosen yang bekerja bersama saya, terutama diungkapkan oleh dosen-dosen senior. Saya lalu berpikir, apa yang salah sehingga stigma itu begitu melekat erat di kepala teman sejawat saya. Wajar kalau stigma psikiater cuma melulu berurusan dengan orang gila disematkan oleh masyarakat awam yang tidak pernah mengecap pendidikan dokter, tapi oleh kalau hal itu dilakukan oleh sejawat?


Gangguan Medis Umum
Hampir dua tahun ini saya bekerja di rumah sakit umum sebagai seorang psikiater konsultasi dan liaison. Ini merupakan salah satu bidang psikiatri yang di luar negeri disebut sebagai Consultation Liaison Psychiatry (CLP). Consultation Liaison Psychiatry merupakan suatu bidang psikiatri yang berhubungan dengan penanganan pasien medis umum, bedah ataupun ginekologi yang mengalami gangguan kesehatan jiwa atau yang sakitnya menyebabkan terganggunya kesehatan jiwanya. Dikatakan dalam beberapa penelitian bahwa hampir 30-40% pasien yang datang ke rumah sakit sebagai pasien medis umum juga merupakan pasien yang membutuhkan perawatan psikiater. Lebih jauh dikatakan dalam beberapa penelitian yang dirangkum dalam Journal of Psychosomatic terbitan American Psyhciatric Publishing bahwa dua pertiga pasien medis umum yang sering datang ke rumah sakit karena kondisi medisnya, 23% mengalami gangguan depresi, 22% mengalami kecemasasan dan 20% mengalami somatisasi atau gejala-gejala psikosomatik. Lalu apakah kondisi ini diketahui oleh teman sejawat saya? Beruntungnya di tempat saya bekerja di salah satu RS swasta, kesadaran ini sudah semakin baik. Hal ini tidak lepas dari upaya promosi dan berbagi pengalaman dengan teman sejawat di saat-saat konsultasi. Tapi apakah ini dialami juga oleh teman sejawat psikiater lain di tempat mereka bekerja? Bagaimana memberikan upaya promosi dan edukasi terhadap para sejawat yang kadung menstigma kami para psikiater sebagai dokter ahli Gila? Pendidikan Dokter saya sendiri mempunyai harapan besar kepada pendidikan kedokteran untuk menjawab tantangan ini. Jaman dahulu saat pendidikan dokter, rata-rata dokter muda yang sering disebut koas, menjalani pendidikan kepaniteraan klinik untuk bagian psikiatri di rumah sakit jiwa. Tentunya jaman itu (jaman sekarang juga sebenarnya) kebanyakan pasien jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah pasien gangguan jiwa berat seperti skizofrenia yang sering disebut gila. Cerita-cerita koas jaman itu bahkan sampai sekarang juga kebanyakan mengangap bagian kepaniteraan klinik psikiatri di RSJ adalah bagian yang menyeramkan dan ingin segera dilewati. Kisah-kisah yang dianggap menakutkan sekaligus lucu sering terdengar dari mulut-mult mereka ini. Hal ini malahan sering ditambah dengan cerita beberapa dosen psikiatri yang katanya berperilaku aneh, layaknya pasien jiwa itu sendiri. Benar tidaknya sampai saat ini belum ada penelitian tentang hal ini. Mereka jarang atau tidak terpapar dengan pasien-pasien medis umum yang juga sebenarnya memerlukan bantuan psikiater. Bukan salah mereka, karena kesempatan itu memang tidak didapatkan. Tidak salah pula jika yang tergambar di pikiran mereka adalah pasien jiwa yang menjadi pasien psikiater adalah selalu pasien gangguan jiwa berat alias gila yang menakutkan walau kadang lucu. Saat ini kami psikiater-psikiater yang bergerak di bidang pendidikan mulai melihat ini sebagai suatu peluang untuk membawa mahasiswa kedokteran lebih dekat pada kasus-kasus di pelayanan umum bukan hanya melulu pelayanan khusus jiwa yang sangat spesialistik. Mereka juga diberikan ilmu untuk mendeteksi suatu gangguan jiwa yang seringkali berdampingan dengan kondisi medis umum yang membawa pertama kali pasien ke pelayanan kesehatan. Selain teori, maka praktek di pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas dan rumah sakit umum diharapkan menambah keterampilan mereka dalam mendeteksi gangguan kesehatan jiwa di pelayanan umum. Semoga di waktu yang akan datang, calon-calon dokter ini mampu memandang psikiatri sebagai bidang kesehatan yang tidak hanya melulu berurusan dengan pasien jiwa berat alias Gila. Mereka juga mampu melaksanakan tugas paripurnanya sebagai dokter yang bukan hanya memberikan pelayanan kesehatan fisik tetapi juga setidaknya mampu mengenali adanya gangguan kesehatan jiwa. Karena tiada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.

Kenali aku

Oleh orangtua saya, saya diberi nama Srimpi Indah Zulaecha. Saya lahir di desa Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Ayah saya seorang pegawai negeri di Departemen Agama kabupaten. Jadi, bila ayah ke kantor harus berangkat pagi-pagi sekali karena pada masa itu, tidak ada angkutan kota dan harus menumpang bis antar kota yang sekali-sekali lewat. Ibu saya mempunyai usaha berdagang kain batik dan perlengkapan tekstil lainnya.

Tapi... Ayah saya meninggal dunia ketika saya kelas tiga SD. Alhamdulillah, ibu saya telah memiliki usaha dan terbiasa mengelola sendiri kehidupan keluarga, sehingga kami semua tetap dapat melanjutkan sekolah. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak... pada saat saya liburan kelas 1 SMA naik ke kelas 2, ibu saya menyusul ayah saya. Jadilah, sejak itu saya yatim piatu.... Sedih lah, tentu!

Kehidupan kemudian mulai berubah. Di antara saya lima bersaudara, hanya saya dan kakak nomor empat yang masih sekolah. Saya SMA dan kakak nomor 4, kuliah. Alhamdulillah, Kakak sulung saya, sangat bertanggung jawab dan dia berperan untuk mengatur kami berlima. Dia pula yang mengatur agar usaha orang tua tetap berjalan untuk membiayai sekolah saya dan kakak nomor empat. Dia bersikeras tidak boleh ada harta orangtua yang dibagi hingga saya dan kakak nomor empat selesai sarjana dan menikah. Tak terbayangkan, jika tidak ada yang tegas seperti itu, semua harta orangtua dibagi, sbg bungsu entah apa jadinya saya..... (Makasih, mas Do!)


Itu tadi kalau cerita tentang keluarga besar saya. Kalau masa sekolah? Oooohhh, itu masa-masa paling menyenangkan.... Saya sekolah sejak SD hingga SMP di Kutoarjo. SDN Prajuritan dan SMPN 1 Kutoarjo, dengar-dengar sih sekarang 'judulnya' jadi SMPN 3 Purworejo.... Secara akademik saya cukup baik, dan hampir selalu menduduki peringkat 5 ke atas. Gak tahu gimana kok bisa begitu... hi..hi...:) Padahal rasanya yaaaa... biasa aja belajarnya... Apa karena dulu jumlah mata pelajaran tidak sebanyak sekarang???? Entahlah... Yang jelas, saya 'menderita' kalau ada pelajaran menggambar... karena sama sekali gak punya bakat nggambar. Makanya suka minta tolong teman... (Makasih, ya Sus! ...jasamu tiadaaaaa taraaaa...).

Saat SMA, saya sekolah di SMAN 1 Purworejo, kota kabupaten yang cukup tenang, apalagi dulu belum banyak rumah, SMAnya di tengah sawah..... Seingat saya, dulu 100 rupiah naik angkot dari rumah saya Kutoarjo, ke Purworejo.... Sayangnya, saat itu merupakan saat yang cukup berat, karena akhirnya kedua orangtua saya meninggal saat saya masih butuh bimbingan mereka.

Kakak sulung saya mewajibkan saya membantu usaha peninggalan almarhum ibu sepulang sekolah. Saya harus belajar mengelola uang, kapan belanja barang, kapan membayar pemasok, kapan harus menggaji pegawai dan sebagainya. (.... tapi gak main-main lho, kemampuan ini ternyata sangat membantu saya sebagai ibu rumah tangga dan istri saat ini). Meskipun demikian waktu belajar saya tidak terganggu. SMA lulus dengan baik, bahkan akhirnya saya bisa masuk Fakultas Kedokteran Negeri di Solo tanpa test. Dulu namanya program PMDK, program Penelusuran Minat Dan Kemampuan. Lumayan... tidak ngeluarin biaya test lagi. Saya sekolah dengan biaya SPP setiap semester dari uang pensiun ayah saya (yang hanya diambil setiap satu semester sekali). Sedangkan biaya bulanan dipenuhi dari uang iuran ke-tiga kakak–kakak saya.

Setelah lulus Sarjana Kedokteran, saya sedikit mengalami kesulitan biaya. Biaya yang biasa dikirim kakak–kakak tidak mencukupi lagi. Maklum, mereka belum cukup mapan untuk membiayai 2 orang mahasiswa kuliah. Saya kemudian mendaftar masuk sebagai Perwira Bea Siswa ABRI. Siapa tahu, ada jalannya.... Padahal, sebenarnya kakak saya nomor tiga (Angkatan Darat, saat itu berpangkat Kapten), tidak setuju. Nekad saja, saya membuat surat izin wali yang ditandatangani kakak saya nomor empat.... habis siapa lagi keluarga terdekat? Saat ditanya petugas penerima saat itu, saya jelaskan bahwa hanya 1 orang kakak tersebut yang ada di Jawa... he..he..he.. untungnya petugasnya percaya2 saja... (Buat mas Bowo, makasih yaaa...tandatangannya laku juga, ternyata...). Tujuan daftar saat itu memang untuk memudahkan biaya co-ass yang cukup besar. Co-ass merupakan periode lanjutan untuk meraih profesi dokter.



Setelah melalui serangkaian seleksi, Alhamdulillah saya diterima. Saya menjalani pendidikan di Kodikal, Surabaya. Duuuhhh, puanaasssnya minta ampun... Setelah selesai dari pendidikan dasar di Kodikal saya melanjutkan dengan Kursus Orientasi Matra (Susormat) di Wingdikum. Saat itu masih bergabung dengan kampus Sekkau di Halim. Dengan gaji sebagai Letnan Dua, biaya kebutuhan co-ass tersebut dapat dipenuhi. Duh Gusti, maturnuwun...


Sebagai Srikandi Bangsa... he..he...penugasan pertama saya, di Lanud Adi Sumarmo. Saat itu sebagai Pa DP Dan Lanud karena status saya sebagai Perwira Bea Siswa. Namun karena kebetulan saya sudah seorang dokter muda, maka saya sering ikut dilibatkan kegiatan oleh Karumkit (saat itu Letkol dr. Bambang Irawan, Sp.BO... Apa kabar, dok? Semoga selalu sehat. Amin). Setelah itu saya saya ditempatkan di KOOPSAU 1, Jakarta. Hal ini karena saya kemudian menikah dengan seorang penerbang dari Skadron Udara 4, ABD dan suami mendapat tugas Karya di Garuda Indonesia. Selama ditempatkan di KOOPSAU 1, saya lebih banyak mengerjakan pekerjaan recording laporan para Karumkit di bawah jajaran KOOPSAU 1. Pekerjaan saya secara fungsional dokter tidak terlalu sibuk karena hanya mengurusi anggota sekantor (dan keluarganya) yang relatif jarang sakit. Pada hari–hari tertentu saya bertugas di base ops Lanud Halim untuk memeriksa kesehatan awak pesawat yang akan terbang. Di samping itu, dua kali tiap bulan, saya juga jaga di UGD RUSPAU dr. Esnawan Antariksa. Praktek sore hanya 4 kali seminggu. Tapi secara umum, cukuplah kesibukan tersebut bagi saya...

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk Sekespra (Sekolah Kesehatan Penerbangan) selama 6 bulan. Sekolah yang membuat saya makin memahami bagaimana tugas-tugas seorang dokter penerbangan. Dalam kegiatan tersebut kami juga harus mengalami semua keadaan yang penerbang alami, sehingga saya juga harus mengikuti seluruh program ILA (Indoktrinasi Latihan Aerofisiologis), saya juga mengikuti program Flight Familisation, yaitu ikut dalam penerbangan di ADI, SMO dan IWY dari pesawat Bravo, Charlie dan Hawk (waktu itu masuk dalam Skadik) termasuk juga latihan Pengungsian Medik Udara dalam Latihan Jalak Sakti. Sayangnya... saat pesawat terbang rendah (pura2nya menghindari radar), wah... dokternya ini mabuuuuukkkk... he..he... Untunglah saat itu ada kawan yang menyalurkan energinya ke saya... (dr. Suryo, IPTN... where are you, now...?)



Setelah lulus Sekespra, biasanya ada skep baru. Namun tidak seperti dokter umum dengan kualifikasi flight surgeon lainnya, saya tidak masuk skadron. Skep saya justru menjadi Dokter Pribadi Kasau. Jabatan yang selama ini tidak pernah dijabat seorang Wara, bahkan setelah saya pun belum pernah lagi jabatan tersebut diberikan kepada Wara. Saya yang aneh shg dijadikan Dokpri Kasau atau Kasau-nya yg aneh, pengin Dokpri perempuan... (he...he... nuwun sewu, pak Hanafi...). Saya menjadi Dokter Pribadi Kasau, sewaktu Kasau dijabat oleh Marsekal Hanafi Asnan, Kasau yang tidak semua orang bisa memahaminya. Pada masa saya menjadi Dokpri, tugas saya adalah harus mendampingi ke manapun beliau pergi. Lucunya, karena selama ini tidak pernah ada Dokpri wanita, jika Kuker saya sering ditempatkan sekamar dengan Koorspri atau Ajudan Kasau....Hal ini karena nama-nama pengikut Kasau jika kuker, hanya ditulis jabatannya saja.... (ha..ha.. salah kamar, dong...)
Bagi saya, jabatan Dokpri ini sangat berkesan, karena saya dapat mengetahui banyak Lanud di Indonesia dengan mendampingi beliau. Meskipun selama saya menjadi Dokpri, ajudan Kasau telah berganti enam kali, tampaknya Kasau cukup berkenan terhadap hasil tugas dan pekerjaan yang diberikan terhadap saya. Semua kegiatan sebagai Dokpri sangat saya nikmati, kecuali satu hal, yaitu menunggui Kasau main golf. ... beteeeeee banget rasanya. (nuwunsewu lagi, ya pak Hanafi).... Namun akhirnya hingga akhir masa tugas saya, semua hal tersebut dapat saya lalui dengan baik. Saat menjabat sbg Dokpri tsb, saya melahirkan anak pertama. Anak yang telah 4,5 tahun dinanti....

Selesai jadi Dokpri, saya kemudian di tempatkan di Satkes Denma Mabes AU, sambil mendaftar untuk test dokter spesialis di Universitas Indonesia. Saya disetujui untuk masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri, atau Kedokteran Jiwa. Kebetulan saat itu dinas sangat membutuhkan dokter dengan kualifikasi tersebut. Saat sekolah, saya mendapat skep baru penempatan di RUSPAU. Alhamdulillah, sekolah spesialis tersebut dapat saya lalui dengan baik. IPnya?.... Masih ok lah... Kalau cuman 3,7 yaaa lebih lah... he..he... (Alhamdulillah, ya Allah..).
Sambil ikut PPDS, saya bekerja di Klinik Remaja YPI. Klinik nirlaba tempat saya belajar lebih untuk memahami orang lain. Sambil bekerja di klinik tersebut, saya juga mengadakan penelitian. Alhamdulillahnya, penelitian saya tentang HIV dinilai baik dan saya mendapat penghargaan sebagai The Best Young Psychiatrist Researcher. Jadi jutawan sesaat deh, waktu itu... karena hadiahnya memang uang...

Setelah lulus psikiater, saya langsung ditempatkan sebagai Kepala Klinik Psikiatri di Lakespra. Saya menikmati tugas baru ini dengan penuh semangat. Saat ini saya juga dipercaya Balai Kesehatan Penerbang Departemen Perhubungan sebagai konsulen untuk kasus-kasus aviation psychiatry.
Kegiatan saya di bidang HIV juga tetap berjalan. Saya dipercaya sebagai anggota tim Pokja HIV TNI sebagai ketua bidang Komunikasi Informasi dan Edukasi. Di tingkat nasional, saya merupakan pelatih bersertifikasi nasional untuk para calon konselor HIV. Beberapa kali saya dilibatkan untuk penulisan buku pedoman tentang HIV.


Semua cerita di atas tentang saya dan sekolah serta pekerjaan saya. Mau tahu tentang saya dan keluarga inti saya?... nih, begini: Saya menikah dengan suami setelah berpacaran kurang lebih 2 tahun. Alhamdulillah, saat akan menikah kami berdua telah sama-sama bekerja. Sehingga meskipun kedua orang tua saya telah meninggal, saya tidak terlalu menyusahkan kakak-kakak saya untuk membiayai pernikahan saya. Sepulang dari gedung tempat kami menikah, saya dan suami pulang ke tempat kost, karena tidak ada rumah yang kami tuju.... (sedih lho, tapi mau gimana lagi.... wong saat itu kami belum py rumah...)

Setelah menunggu 4,5 tahun, akhirnya lahirlah anak pertama. Halim. Sekarang telah berumur 9 tahun. Dia anak laki-laki yang sangat gembul dan doyan makan. Saat saya sekolah spesialis lahirlah anak ke dua, seorang perempuan cantik yang sekarang telah berumur 7 tahun 3 bulan. Ais, namanya. Sebagai 'tanda' dia putri seorang Srikandi Bangsa... saya beri dia nama kesayangan 'Kusuma Pertiwi'.
Saat saya telah kembali dinas, tanpa saya sadari saya hamil lagi... saya mendapat kembali seorang anak laki-laki kecil yang ganteng. Saat ini usianya telah 1,5 tahun. Si bungsu adalah anak istimewa dari Allah swt. Faiz namanya, yang artinya Sang Pemenang. Faiz kecil yang ganteng ternyata tidak dapat mendengar, ia juga mengalami gangguan kelambatan sehingga sejak bayi dia selalu butuh ekstra perhatian. Alhamdulillah-nya sekarang fungsi jantung dan matanya cukup baik. Faiz terkena Sindrom Rubella. Namun tampaknya dengan segala keterbatasannya, Faiz tampak cerdas selalu bisa mengkomunikasikan kemauannya dengan caranya sendiri. Sebulan sekali Faiz harus kontrol ke dokter spesialis THT konsulen Anak, ke dokter Rehabilitasi Medis konsulen Anak dan dokter Anak konsulen Neurologi Anak. Dokter Anak konsulen Jantung Anak dan dokter Mata konsulen Mata Anak, sudah tidak lagi.

Tuhan yang mengatur dan Tuhan pula yang merencanakan. Sebagai manusia yang percaya bahwa hidup ini telah ada yang mengatur, saya pasrah dan ikhlas saja menjalani semua skenario ini. Saya hanya berusaha menyelesaikan dengan baik. Semoga Allah swt memberikan kemudahan. Amin.

Demikian sekilas tentang pribadi saya. Kenali saya...

Sahabat...


Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan
dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan
mempunyai nilai yang indah.

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi
persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan
bertumbuh bersama karenanya…

Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi
membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi,
demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti,
diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak,
namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan
dengan tujuan kebencian.


Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan
untuk menghindari perselisihan, justru karena rasa sayangnya
ia memberanikan diri menegur apa adanya.

Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman,
tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan
dengan tujuan sahabatnya mau berubah.


Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha
pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita
membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi
mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih
dari orang lain, tetapi justru ia beriinisiatif memberikan
dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya,
karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.
Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati,
namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya.
Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun
ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.

Beberapa hal seringkali menjadi penghancur
persahabatan antara lain :
1. Masalah bisnis UUD (Ujung-Ujungnya Duit)
2. Ketidakterbukaan
3. Kehilangan kepercayaan
4. Perubahan perasaan antar lawan jenis
5. Ketidaksetiaan.

Tetapi penghancur persahabatan ini telah berhasil dipatahkan
oleh sahabat-sahabat yang teruji kesejatian motivasinya.



Renungan :
**Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri
"Dalam masa kejayaan, teman2 mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman2 kita".
”**

sumber : www.susilow.com

About Me

Im just an ordinary woman



Kisah Seorang Ibu Tua

Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si Anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si Ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.

"Bu, kita sudah sampai", kata si Anak.

Ada perasaan sedih di hati si Anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.

Si Ibu, dengan tatapan penuh kasih berkata, "Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang. Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan".

Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.

Mungkin cerita di atas hanya dongeng. Tapi di jaman sekarang, tak sedikit kita jumpai kejadian yang mirip cerita di atas. Banyak manula yang terabaikan, entah karena anak-anaknya sibuk bisnis, dll. Orang tua terpinggirkan, dan hidup kesepian hingga ajal tiba. Kadang hanya dimasukkan panti jompo, dan ditengok jikalau ada waktu saja.

Kiranya cerita di atas bisa membuka mata hati kita, untuk bisa mencintai orang tua dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, di saat mereka menunggu waktu dipanggil Tuhan yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga menjadi seperti sekarang ini.
Hidup itu indah...buat siapa saja...


Marilah kita cintai keindahan dari semua karunia Allah yang kita miliki...
Selagi kita masihdiberi waktu untuk mencintai dan mensyukurinya...